Ketum PWRI Dukung Pembangunan Penjara di Pulau-Pulau Kosong


JAKARTA --- Menjawab Pro kontra yang muncul akibat  pemberian remisi kepada 92.816 orang  napi se-Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan remisi merupakan hak narapidana,  pemberian remisi sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan, bukan semata untuk penghematan anggaran.

"Bukan anggarannya, itu hak seseorang. Jangan kita membatasi hak seseorang. Kalau kita juga suatu saat tertimpa pada diri kita, hak kita diambil orang, itu pasti marah. Sepanjang hak itu sesuai ketentuan UU, kita harus berikan. Kecuali diberikan tidak sesuai UU," kata Laoly kepada wartawan di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Sabtu (19/8/2017).

Terkait pro kontra yang terjadi soal remisi yang diberikan pada napi, Ketum Persatuan Wartawan Republik Indonesia(PWRI) yang juga berprofesi sebagai praktisi hukum, Suriyanto PD, SH, MH, MKN mengamini kebijakan  Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. 

Menurut Suriyanto sebagaimana diatur dalam pasal 14 huruf i Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang permasyarakatan, remisi merupakan hak yang diberikan terhadap napi dan anak pidana yang telah berlaku baik selama menjalani pidana dalam pasal 1 angka 6 peraturan pemerintah, dan Nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga negara binaan permasyarakatan.
                    
Ditambahkan Suriyanto, dalam Pasal 34 PP Nomor 32 tahun 1999 disebut secara explisit bahwa setiap napi dan anak napi selama menjalani masa tahanan berkelakuan baik akan mendapat remisi tahanan dengan syarat dan pengajuan yang memenuhi syarat dari masing-masing lapas.
            
"Bahkan beberapa lapas dalam pengajuan remisi sudah menggunakan pengajuan secara online," tukas praktisi hukum ini sambil mengingatkan agar sistem itu bisa efektif maka perlu pengawasan serius dari pihak yang terkait termasuk pengawasan dari masyarakat agar tidak ada permainan, baik itu dilapas kelas satu maupun kelas dua.
           
Suriyanto juga menyinggung soal rencana Menkum HAM  Yasona Laoly yang dalam waktu dekat akan merevisi untuk yang kedua kalinya UU 12 tahun 1995 dengan alasan over kapasitas. 

Menurutnya  pemerintah  harus benar-benar membuat kajian tentang akan di ubahnya UU 12 tersebut agar benar-benar tepat sasaran. Supaya perubahan undang-undang baru tidak bertentangan dengan undang-undang yang lama dan tidak menimbulkan priksi -priksi dikalangan praktisi hukum dan masyarakat.
           
"Pasal demi pasal harus benar-benar dapat diatur dan dipisahkan serta disesuaikan dengan keadaan para napi," papar Suriyanto sambil menyorot masalah remisi koruptor dan gembong narkoba yang banyak diperdebatkan.
            
"Masalah remisi koruptor dan gembong narkoba pengklasifikasiannya harus jelas dan tegas agar tidak menimbulkan kontradiktif dalam pelaksanaan kedepan," tukas Suriyanto seraya mencontohkan, misalnya gembong narkoba berat dihukum mati, gembong narkoba biasa dihukum seumur hidup agar ada efek jera, koruptor berat hukum seumur hidup,  koruptor menegah dihukum berat, gembong teroris dihukum mati, pengikut teroris dihukum berat dan para pelaku pidana biasa lainnya disesuaikan dengan hukum yang sudah berjalan.

"Jadi harus jelas perubahan yakni mana pasal yang perlu diubah dan mana ayat yang perlu diubah. Semua harus jelas dan tegas  agar tidak ada saling menyalahkan baik dikalangan orang-orang hukum, kalangan masyarakat dan napi, " paparnya.
               
Sementara terkait over capasity, Suriyanto mengingatkan pemerintah harus sudah memikirkan untuk memanfaatkan pulau-pulau kosong untuk didirikan penjara buat para napi. Bila perlu, lanjutnya  untuk efek jera terbitkan peraturan agar napi dibebankan pembayaran untuk biaya makan dan pembinaannya.

"Terlebih kepada napi koruptor, gembong narkoba dan pemakai narkoba berat dan ringan," ucapnya.

Termasuk juga  pemerintah harus sudah memikirkan pembangunan penjara di pulau-pulau yang kosong untuk pemisahan napi, antara napi biasa, napi pengguna narkoba, napi kurir narkoba, napi pengedar narkoba, napi gembong narkoba, koruptor, pembunuh dan teroris.

"Karena banyak hal bisa terjadi jika para napi dilapas  disatukan. Sangat riskan,  mereka akan menjadi tidak lebih baik namun sebaliknya," papar lawyer ini mengakhiri. []

Postingan Lama
Postingan Lebih Baru