Ini Tiga Masalah Ummu Salamah saat Baginda Rasulullah Melamarnya

Ketika Abu Salamah radhiallahu anhu sedang sakaratul maut, Ummu Salamah yang ada di sampingnya bertanya sedih: Kepada siapa kau serahkan diriku? Abu Salamah menjawab dengan doa: Ya Allah, sesungguhnya Engkau bagi Ummu Salamah lebih baik dari Abu Salamah. (HR. Abu Ya’la, dishahihkan oleh Al Albani dalam Silsilah Shahihah)

Setelah Abu Salamah meninggal, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melamar Ummu Salamah.

Berikut penuturan langsung Ummu Salamah tentang kisahnya dilamar Rasulullah,

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah dan berkata sebagaimana yang diperintahkan Allah (innalillahi wa inna ilaihi rajiun), ya Allah beri aku pahala dalam musibah ini dan berilah ganti yang lebih baik darinya, kecuali Allah akan memberinya ganti yang lebih baik.

Ummu salamah berkata: Ketika Abu Salamah meninggal, aku berkata: adakah muslimin yang lebih baik dari Abu Salamah? Keluarga pertama yang hijrah menuju Rasulullah. Kemudian aku membaca doa tersebut dan Allah mengganti untukku Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Ummu Salamah berkata: Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Balta’ah untuk melamarkanku untuk beliau.

Aku pun berkata: Aku ini mempunyai anak dan aku wanita yang sangat pencemburu.

Rasul menjawab: Adapun anakmu kita berdoa semoga Allah memberinya kecukupan dan aku berdoa kepada Allah agar menghilangkan cemburu itu.” (HR. Muslim)

Dalam Al Ishobah, Ibnu Hajar menambahi kisah di atas. Ummu Salamah berkata:

“Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam melamarku, aku berkata kepada beliau: aku punya tiga masalah: Aku sudah berusia, aku wanita banyak anak, dan aku sangat pencemburu.

Beliau menjawab: Aku lebih berusia darimu, adapun anak-anak serahkan kepada Allah, dan adapun cemburu aku berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkannya darimu.

Dan Nabi pun menikahinya.”

Dalam Al Ishobah karya Ibnu Hajar dan Ma’rifatush Shahabah karya Abu Nu’aim, disebutkan bahwa Ummu Salamah menuturkan,

“Ketika selesai masa iddahku, beliau minta izin untuk menemuiku. Saat itu saya sedang menyamak kulit. Akupun mencuci kedua tanganku. Aku kemudian mengizinkan beliau. Aku letakkan bantal kulit berisi serat kulit pohon. Beliau duduk di atasnya. Beliau melamarku.

Ketika beliau selesai bicara aku berkata: Ya Rasulullah, aku tidak setara denganmu, adapun aku tertarik kepadamu. Tetapi aku ini seorang wanita yang sangat cemburu, aku takut engkau melihat dariku sesuatu yang tidak kau sukai hingga kelak Allah akan mengadzabku karenanya. Aku seorang wanita yang sudah berusia. Dan aku mempunyai anak-anak.

Rasul menjawab:

Adapun yang kau sebutkan tentang cemburu, Allah akan menghilangkannya darimu. Sedangkan usia, aku pun berusia sepertimu. Dan tentang anak-anak, anak-anakmu adalah anak-anakku.

Ummu Salamah menjawab: Aku terima ya Rasulullah.

Rasul pun menikahi menikahinya. Ummu Salamah berkata: Allah telah menggantikan Abu Salamah dengan yang lebih baik darinya.”

Ummu Salamah dilamar Nabi setelah selesai masa iddahnya. Tak perlu ditanyakan persetujuan dan bahagianya Ummu Salamah. Tetapi dia merasa bahwa dirinya tidak setara dengan beliau. Dia khawatir hanya akan menjadi beban bagi Rasulullah. Karena sadar ketidaksetaraan itu.

Karena Ummu Salamah mempunyai tiga masalah besar:

Ummu Salamah mempunyai sifat cemburu yang besar. Sebagai wanita mulia, dia sangat khawatir akan membuat suaminya kelak murka dan karena itu ia akan mendapatkan adzab Allah. Begitulah wanita shalihah. Dia khawatir kecemburuan menjerumuskannya berbuat perbuatan yang membuat suaminya marah dan kemudian Allah pun murka karenanya.

Ummu Salamah merasa telah berusia. Walaupun sebenarnya saat itu usianya baru di kisaran 27 tahun. Tetapi Ummu Salamah sedang membandingkan dirinya dengan Aisyah (9 tahun) dan Hafshah (21 tahun) yang telah dinikahi Nabi.

Ummu Salamah mempunyai anak-anak. Disebutkan dalam sejarah bahwa Ummu Salamah mempunyai tiga anak: Salamah, Umar dan Zainab. Anak-anak yang masih kecil ini akan menjadi beban bagi suaminya kelak.

Ummu Salamah memang wanita cerdas. Ia yang senang dilamar Rasul, menjelaskan di depan semua masalah tentang dirinya. Hingga kelak suaminya tidak terkejut dengan keadaan dirinya dan telah siap menghadapi semuanya. Mengingat Ummu Salamah bukanlah seorang gadis yang hadir seorang diri tanpa beban dan masalah.

Ini menjadi pelajaran mahal bagi siapapun akan menjalani hal serupa. Seorang wanita janda yang telah berpengalaman berumah tangga dengan laki-laki sebelumnya, hendaknya mengisahkan semua hal yang berpotensi menimbulkan masalah bagi rumah tangga barunya. Pun laki-laki yang ingin menikahinya harus mengukur kemampuan dirinya dan kesiapannya menghadapi semua masalah tersebut.

Rasulullah memiliki jawaban untuk ketiga masalah yang disampaikan oleh Ummu Salamah. Menunjukkan kesiapan beliau.

Rasulullah menjawab tentang calon istrinya yang merasa sudah berusia, bahwa beliau pun telah berusia bahkan lebih. Jelas jauh berbeda, karena saat itu Rasul telah berusia 57 tahun. Setidaknya terpaut 30 tahun beda dengan Ummu Salamah.

Selesai satu permasalahan, berikut jawaban untuk masalah kedua.

Rasulullah menjawab tentang anak-anak Ummu Salamah, bahwa beliau mengajak Ummu Salamah untuk menyerahkan kepada Allah. Ini menarik. Karena pembahasan tentang anak-anak, apalagi seorang ibu janda yang membawa anaknya dan anak-anak akan mendapatkan ayat tiri. Jika kita mengukur hari ini, kata tiri sering kali menjadi momok. Maka, kata yang sangat tepat bicara tentang anak-anak dan masa depan mereka adalah menyerahkan kepada Allah yang Maha Memelihara, Mengetahui masa depan, dan Maha Pemberi Rizki.

Tapi Rasul pun memberikan jaminan sebagai manusia: Anakmu adalah anakku. Begitulah yang harus dilakukan. Inilah yang harus disadari oleh seorang laki-laki yang mau menikahi seorang janda dengan membawa anak. Ia tidak boleh hanya mencintai ibunya tapi mengabaikan anak-anak. Karena kebahagiaan seorang ibu tak hanya pada dirinya yang diperhatikan, tapi juga pada anak-anaknya yang dibahagiakan. Membahagiakan anak-anaknya berarti melengkapi kebahagiaan ibunya. Rasul bertanggung jawab penuh terhadap anak-anak Ummu Salamah. Walau mereka bukan anak kandung Nabi.

Dan masalah ketiga, berbeda dengan dua masalah di atas.

Rasulullah menjawab tentang sifat cemburu Ummu Salamah yang besar. Apalagi dia bukan istri satu-satunya. Sudah ada istri-istri sebelumnya. Pasti posisi Ummu Salamah yang sangat pencemburu itu tidak mudah. Dia membayangkan ketidaknyamanannya terhadap keberadaan wanita-wanita yang lebih dahulu telah ada di kehidupan Nabi. Yang bisa jadi hadir di benak Ummu Salamah adalah bahwa dia hanyalah seorang wanita baru di keluarga Nabi. Dia pasti sudah membayangkan perilaku Nabi di antara istri-istrinya akan membuatnya cemburu. Sebagai wanita mukminah yang baik, dia tidak mau berbuat maksiat karena cemburu yang akan menimbulkan tindakan tidak nyaman darinya kepada calon suaminya.

Dan ternyata, Rasul tidak punya jawaban.

Tidak ada jaminan dari diri beliau sebagai manusia. Tidak sama dengan dua masalah di atas yang beliau memberikan jawaban dari diri beliau sebagai seorang makhluk. Dalam bab cemburu, Nabi hanya bisa berkata: Semoga Allah menghilangkannya darimu. Beliau hanya bisa menyerahkan kepada Allah. Mengapa? Jawabnya jelas, karena itu urusan hati. Dan bukankah beliau sendiri yang mengatakan bahwa hati ada di antara jari-jari Allah yang Maha Rahman. Bukan beliau sendiri yang berdoa: “Ya Allah inilah pembagianku di antara istri-istriku yang sanggup aku lakukan, maka janganlah Kau hukum aku pada sesuatu yang tidak aku miliki dan itu Kau miliki.” Nabi sedang membicarakan tentang pembagian fisik yang harus adil dan beliau sanggup melakukannya. Tetapi tentang pembagian hati, beliau harus menyerahkan kepada Allah.

Keluhan Ummu Salamah tentang cemburu hanya mendapat jawaban doa. Pelajaran bagi setiap keluarga tentang cemburu yang diduga akan merusak jika telah melampaui batas. Meringankannya dengan mengadu kepada yang Maha Menggenggam hati.

Dengan semua jawaban dan jaminan Nabi sebagai manusia itu, pernikahan berkah itupun berlangsung. Dan benar-benar Ummu Salamah adalah pendamping Nabi yang luar biasa. Membaca sejarah keluarga mulia ini, kita bisa belajar peran Ummu Salamah yang dahsyat dalam kebesaran kehidupan Rasulullah.

Untuk urusan cemburu yang Nabi tidak bisa memberikan jaminan, apakah kekhawatiran Ummu Salamah terjadi. Ternyata Rasul hidup nyaman bersama Ummu Salamah. Menunjukkan bahwa Rasul dan Ummu Salamah berhasil dalam doanya. Untuk meredam cemburu yang melampaui batas.

Tapi bacalah kisah dalam Ath Thabaqat Al Kubra karya Ibnu Saad berikut ini. Dari Abdurrahman bin Al Harits,

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sedang di perjalanannya. Dalam perjalanan itu beliau bersama Shafiyyah binti Huyay dan Ummu Salamah. Rasulullah mendekat ke Haudaj (ruangan di atas punggung unta) yang dihuni oleh Shafiyyah binti Huyay. Sementara Rasul menduga bahwa itu adalah Haudaj Ummu Salamah. Dan hari itu adalah jatah Ummu Salamah. Rasulullah pun berbincang dengan Shafiyyah (karena salah duga haudaj). Maka Ummu Salamah pun cemburu. Setelah Rasul tahu bahwa ternyata ia berbincang dengan Shafiyyah, maka beliau mendatangi Ummu Salamah. Dan Ummu Salamah berkata: Engkau berbincang dengan putri yahudi di hari jatahku, padahal engkau Rasulullah!

Tapi setelah itu Ummu Salamah menyesal dengan kalimatnya. Dan memohon ampun pada Allah atas ucapan itu.

Dan Ummu Salamah berkata: Ya Rasulullah mohonkan ampun untukku. Yang membuatku seperti itu adalah kecemburuan.”

Dari kisah tersebut, ternyata Ummu Salamah tetap mempunyai rasa cemburu. Maka berarti yang disampaikan Nabi semoga Allah menghilangkannya adalah kecemburuan yang salah dan menyebabkan keburukan. Adapun kecemburuan bukti cinta ia akan tetap ada. Dan justru menjadi bukti cinta.

Ustadz Budi Ashari, Lc.

(fath/parentingnabawiyah/arrahmah.com)
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru