News
Sekber Pers Indonesia Sesalkan Penahanan Wartawan di Bireuen
JAKARTA – Ketua Sekretariat Bersama (Sekber) Pers Indonesia, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA menyatakan prihatin atas fenomena main tahan yang dilakukan aparat terhadap jurnalis, seperti yang dilakukan terhadap wartawan Media Realitas, M. Reza oleh oknum di Polres Bireuen. Ia juga sangat menyesalkan hal tersebut terjadi.
"Atas nama Sekber Pers Indonesia, saya menyatakan sangat menyesalkan tingkah-pola oknum aparat yang main tahan terhadap wartawan atas delik aduan pemberitaan yang dimuat di medianya," ujar Wilson kepada pewarta media ini melalui pesan WhatsApp-nya, Sabtu, 22 Desember 2018.
Aparat kepolisian, lanjut alumni PPRA-48 Lemhannas tahun 2012 ini, seyogyanya menjadi pengayom masyarakat, pembela kepentingan rakyat, bukan jadi centeng pengusaha bertameng undang-undang.
"Polisi itu digaji rakyat, bukan pengusaha, isi perutnya disuapkan rakyat, bukan pengusaha dan penguasa. Semestinya polisi bekerja menegakkan hukum atas kejahatan yang dilakukan korporasi yang merugikan rakyat, dan perilaku menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan oleh aparat pemerintahan," imbuh Wilson yang juga merupakan Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI).
Sebagaimana diberitakan berbagai media daerah dan nasional, M. Reza ditahan setelah dilakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan atas aduan pimpinan PT. Takabeya yang menggunakan BBM bersubsidi. M. Reza diseret ke tahanan atas tuduhan melanggar UU ITE karena menyebarkan berita yang tentang dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan PT. Takabeya (atas penggunaan BBM Bersubsidi) di akun facebook miliknya.
Menilik kasus tersebut, Wilson menyampaikan penilaiannya bahwa sungguh malang nasib warga masyarakat di negeri ini. Ketika kita – entah sebagai wartawan, pewarta warga, atau masyarakat awam biasa – menemukan kejanggalan dan/atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi, rakyat tidak punya kekuatan dan/atau kekuasaan untuk menghentikan pelanggaran tersebut.
"Mau melaporkan ke aparat, sulit, bahkan hampir tidak mungkin. Jika dibiarkan, rakyat dirugikan selamanya," keluh alumni pascasarjana bidang studi Global Ethics dari Univeritas Birmingham, Inggris itu.
Juga, lanjutnya, ketika masyarakat melaporkan dugaan pelanggaran oleh para pemilik perusahaan, melalui caranya masyarakat saat ini yakni melalui media massa, media sosial, media komunikasi berbasis aplikasi WhatsApp, dan sebagainya, dengan serta-merta si rakyat tersebut ditahan menggunakan aturan hukum Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Ini undang-undang sontoloyo, menjerat warga yang menyuarakan isi hati dan pikirannya sebagai manusia, aparat polisi sebenarnya dapat menjadi harapan publik untuk cerdas dan bijak menggunakan UU ITE itu, tapi apa daya, umumnya polisi kita 11-12 dengan UU ITTE, sama-sama sontoloyo," urai Wilson yang merupakan trainer jurnalistik bagi ribuan TNI, Polri, guru, dosen, PNS, LSM, ormas, wartawan dan masyarakat umum itu, dengan nada kesal.
Lebih parah lagi, jelasnya lebih lanjut, ketika pengusaha berkait-kelindan dengan oknum penguasa. Warga semakin jadi bulan-bulanan oleh komplotan pengusaha-penguasa-aparat. "Saya dengar, pemilik PT. Takabeya Perkasa Grup, H. Mukhlis, A.Md, itu adalah adiknya Bupati Bireuen. Yah, kloplah sudah, sangat perkasalah perusahaan itu, lemah selemah-lemahnyalah kita-kita yang rakyat jelata ini," kata Wilson.
Seperti banyak diketahui publik, berdasarkan hasil pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), H. Mukhlis, A.Md yang juga menjabat sebagai Ketua KONI Bireuen dan Ketua Dewan kesenian Aceh (DKA) Kabupaten Bireuen terlibat dalam kasus korupsi Irwandi Yusuf (Gubernur Aceh non-aktif – Red). Mukhlis merupakan orang yang membukakan rekening penampung uang Irwandi Yusuf.
"Heran ya, polisi lebih membela orang-orang yang terindikasi terlibat dalam konspirasi pejabat koruptif daripada warga yang telah berperan aktif menyuarakan ketidak-benaran perilaku oknum-oknum sontoloyo itu," pungkas tokoh pers nasional yang getol membela warga yang terzalimi ini heran. (HWL/Red)
Via
News