Makna 'Khanduri Blang' dalam Tradisi Masyarakat Aceh
Wakil Ketua Pemangku Adat Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh, Prof. Dr. H. Syamsul Rijal, M.A. [Istimewa] |
BANDA ACEH - Setiap akan memulai turun sawah, masyarakat Aceh lazimnya menggelar sebuah upacara 'Khanduri Blang' (kenduri turun sawah). Khanduri Blang merupakan tradisi yang melekat di masyarakat Tanah Rencong yang sudah digelar secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.
Khanduri Blang bagi masyarakat Aceh tidak hanya sebatas ritual/upacara yang menandai akan dimulainya turun ke sawah, namun memiliki makna yang mengandung nilai-nilai Ketuhanan dan aspek sosialnya, sehingga adat turun sawan ini masih dilestarikan dengan baik sampai hari ini.
Dalam adat istiadat masyarakat Aceh, turun ke sawah juga memiliki Lembaga Adat tersendiri yang dikenal dengan nama 'Keujruen Blang'. Keujruen Blang termasuk Lembaga Adat yang memiliki tugas dan wewenang mengurusi dan mengkoordinasikan para petani sawah saat memasuki musim tanam hingga panen.
Semua daerah di Aceh melaksanakan Khanduri Blang saat akan turun ke sawah, namun tata cara pelaksanaannya yang berbeda tergantung kearifan lokal masing-masing. Namun intinya sama, yaitu melakukan kenduri yang diiringi dengan munajat do'a kepada Allah SWT agar tanaman selamat dari hama dan menghasilkan panen yang banyak.
Wakil Ketua Pemangku Adat Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh, Prof. Dr. H. Syamsul Rijal, M.A mengatakan, Khanduri Blang merupakan salah satu tradisi yang melekat dalam adat istiadat masyarakat Aceh dan dilakukan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.
Upacara Khanduri Blang sudah ada sangat lama sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam dan proses upacara Khanduri Blang sudah diselaraskan dengan Islam.
"Khanduri Blang adalah upacara adat masyarakat Aceh saat akan turun ke sawah yang bertujuan mengharapkan keberkahan dan rezeki yang melimpah dari Allah SWT," kata Syamsul Rijal kepada media ini, Sabtu (5/11/2022).
"Upacara Khanduri Blang di masyarakat Aceh mengandung nilai-nilai Ketuhanan karena dilakukan dengan berdo'a kepada Allah SWT yang dipimpin oleh seorang ulama atau teungku. Tujuan lainnya untuk menjalin kekeluargaan dan gotong royong. Sehingga turun ke sawah dilakukan bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Jadi adan unsur Ketuhanan dan dimensi sosialnya," jelas Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry itu.
Dalam tradisi Khanduri Blang di masyarakat Aceh, sambung Syamsul Rijal, do'a dilakukan bersama yang dipimpin oleh seorang ulama (Teungku) yang menjadi panutan di desa masing-masing tempat. Selain itu, juga ada nilai-nilai kebersamaan dibalik Khanduri Blang, dimana turun ke sawah dilakukan secara bersamaan, termasuk dalam berbagi air andai kata sawah masih tadah hujan.
Menurutnya, Khanduri Blang yang berlaku dalam tradisi masyarakat Aceh memiliki nilai filosofisnya, dimana dalam praktik upacara Khanduri Blang masyarakat Aceh, di samping terdapat unsur uluhiyah (Ketuhanan) juga ada nilai sosialnya, yaitu kebersamaan dan gotong royong.
"Dan nilai filosofis ini kan sebenarnya bagian dari ajaran Islam, bahwa segala sesuatu itu harus disandarkan kepada Allah SWT. Di sini secara tidak langsung ada pengakuan bahwa yang memberi dan menentukan rezeki itu Allah, dan kita manusia tugasnya berusaha," ungkapnya.
"Begitu juga aspek sosial dari Khanduri Blang, yaitu gotong royong dan kebersamaan. Tidak mendahului satu dari yang lainnya. Islam kan mengajarkan umatnya untuk saling musyawarah, mengisi satu sama lain. Jadi Khanduri Blang ini merupakan kearifan lokal masyarakat Aceh yang harus dipertahankan," demikian pungkas Prof Syamsul Rijal. [Adv]