MAA
Larangan Perkawinan “Sara Urang” Dalam Hukum Adat Gayo, Ini Tujuannya
Ketua Majelis Adat Gayo (MAG) Kabupaten Bener Meriah, Tgk Abdul Kasah. |
REDELONG – Suku Gayo merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia yang mendiami dataran tinggi Provinsi Aceh. Mayoritas Suku Gayo berada di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues. Ketiga daerah ini identik dengan sebutan dataran tinggi Gayo karena memang menjadi rumah bagi Suku Gayo.
Sebagai komunitas masyarakat adat, Suku Gayo memiliki sitem hukum adat tersendiri yang mengatur aspek kehidupan sosial masyarakatnya. Salah satu sistem hukum adat yang berlaku di masyarakat Gayo adalah larangan perkawinan "sara urang".
Sara urang berasal dari bahasa Gayo yang mempunyai arti, "sara" adalah satu, dan "urang" adalah kampung. Jadi, sara urang berarti satu kampung. Dalam sistem hukum adat, Suku Gayo sangat malarang terjadinya proses perkawinan dalam sara urang, karena dianggap saudara.
Ketua Majelis Adat Gayo (MAG) Kabupaten Bener Meriah, Tgk Abdul Kasah, ketika dimintai tanggapan terkait terkait hukum adat larangan perkawinan sara urang, menerangkan bahwa dalam masyarakat Suku Gayo menganggap sara urang (satu kampung) adalah saudara meski tidak memiliki ikatan darah sekalipun.
"Dalam sistem hukum adat Gayo, jika tinggal bersama dalam sara urang sudah dianggap saudara. Karena bagi suku Gayo, sara urang memiliki arti satu keluarga. Inilah yang menjadi landasan adanya larangan perkawinan sara urang di Suku Gayo," kata Abdul Kasah, Senin (14/11/2022).
"Tujuannya adalah untuk saling menjaga, karena bagi masyarakat Suku Gayo satu kampung itu dianggap saudara. Jadi istilahnya tidak boleh pagar makan tanaman," ungkapnya.
Tujuan lainnya, sambung Ketua MAG Bener Meriah, untuk mengantisipasi dampak sosial ketika terjadi perselisihan dalam rumah tangga yang berujung perceraian. Dan yang paling penting adalah menjaga tidak putusnya silaturrahmi dan persaudaraan.
"Ttidak ada jaminan akan langgeng sampai tua, kalau bercerai ini berpotensi menjadi masalah dari kedua belah pihak. Mungkin ini juga menjadi salah satu landasan adanya larangan perkawinan sara urang dalam sistem hukum adat Gayo," ungkapnya.
"Kalau sudah bercerai kan biasanya keluarga di kedua belah pihak sudah tidak akur lagi, dan ujungnya akan saling melirik sinis satu sama lain. Disamping adanya potensi konflik sosialnya, juga untuk mencegah potensi maksiat antara mantan suami dan istri," ungkapnya lagi.
Ketua MAG Bener Meriah tak menampik jika adat larangan perkawinan sara urang saat ini sudah banyak ditentang seiring perkembangan zaman, dan ini menjadi tantang bagi MAG untuk menegakkan hukum adat ini, apalagi secara hukum agama dan Negara tidak ada ada larangan. [Adv]
Via
MAA