MAA
MAA Bener Meriah: Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Adat Sudah Berjalan
Ketua MAA/MAG Bener Meriah, Tgk Abdul Kasah (tengah). |
REDELONG – Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Bener Meriah (di sana disebut Majelis Adat Gayo/MAG) terus mendorong penyelesaian 18 perkara ringan melalui Peradilan Adat sebagaimana yang tercantum dalam Qanun Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.
Ketua MAA/MAG Bener Meriah, Tgk Abdul Kasah mengatakan penyelesaian perkara-perkara ringan melalui Peradilan Adat di desa-desa sudah mulai berjalan. Dikatakannya, ada banyak kasus perkara ringan yang dilaporkan ke polisi namun dikembalikan ke lembaga adat di tingkat desa.
"Sistem Peradilan Adat di Bener Meriah sudah mulai berjalan dengan baik. Perkara-perkara ringan sebagaimana dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 sudah banyak yang diselesaikan di kampung melalui Peradilan Adat," ujar Abdul Kasah saat dijumpai di Kantor MAA di Bener Meriah, Selasa (15/11/2022).
Abdul Kasah yang turut didampingi bebera pengurus MAA lainnya, mengungkapkan bahwa pelaku pelanggaran adat baik itu pencemaran nama baik atau lainnya di Bener Meriah, kasusnya yang dilaporkan ke polisi dikembalikan ke Majelis Adat karena sudah ada MoU antara Gubernur Aceh, Kapolda Aceh, dan MAA Provinsi Aceh.
"Ketika ada kasus di masyarakat yang dilaporkan ke polisi, bahkan pihak kepolisian mengembalikannya ke Majelis Adat untuk diselesaikan melalui sistem Peradilan Adat. Artinya Peradilan Adat ini sudah berjalan," ujar Abdul Kasah saat dijumpai media ini di Bener Meriah, Selasa (15/11/2022).
"Memang pelaksanaannya belum maksimal, karena juga masih banyak masyarakat yang memilih ingin menyelesaikan kasus melalui jalur hukum. Tapi, dengan semakin meningkatnya pemahamam tentang Peradilan Adat, sekarang banyak kasus yang dilapor ke Polisi dikembalikan ke Majelis Adat," ujarnya.
MAA Kabupaten Bener Meriah, katanya, akan terus melakukan sosialisasi terkait Peradilan Adat dan perakara-perkara yang bisa diselesaikan secara adat ke masyarakat. Ditegaskannya, penyelesaian sengketa melalui Peradilan Adat memberikan kedamaian karena kasusnya diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat sebagaimana yang dianjurkan dalam agama Islam.
Untuk diketahui, Peradilan Adat di Aceh mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang kemudian dituangkan dalam Qanun Aceh Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Istiadat, Peraturan Gubernur Aceh.
Dasar hukum lainnya Keputusan Bersama antara Gubernur Aceh, Kapolda Aceh, dan Ketua MAA Aceh Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa / Perselisihan Adat Istiadat, serta lahirnya Pergub Nomor 60 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa / Perselisihan Adat Istiadat.
Berdasarkan Qanun Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, ada 18 sengketa/perselisihan Adat dan Adat Istiadat yang bisa diselesaikan oleh pemangku adat atau perangkat desa melalui Peradilan Adat.
Ke 18 perkara tersebut yaitu: (1) perselisihan dalam rumah tangga; (2) sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh; (3) perselisihan antar warga; (4) khalwat mesum; (5) perselisihan tentang hak milik; dan (6) pencurian dalam keluarga (pencurian ringan).
Kemudian (7) perselisihan harta sehareukat; (8) pencurian ringan; (9) pencurian ternak peliharaan; (10) pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; (11) persengketaan di laut; (12) persengketaan di pasar; (13) penganiayaan ringan; dan (14) pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat).
Selanjutnya, (15) pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; (16) pencemaran lingkungan (skala ringan); dan (17) ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan (18) perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat. [Adv]
Via
MAA