KIP Bireuen Tak Izinkan Pasang Iklan Calon Bupati di Media Belum Miliki Sertifikat Dewan Pers?

BIREUEN- Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Bireuen yang hanya mengizinkan iklan calon bupati dimuat di media-media bersertifikat Dewan Pers menimbulkan banyak kecaman, baik dari kalangan masyarakat maupun pelaku media lokal. Kebijakan ini bukan hanya mereduksi akses informasi, tetapi juga berisiko memperlebar jurang ketimpangan informasi antara media besar dan media lokal yang lebih dekat dengan masyarakat.

Hal tersebut, diungkapkan oleh salah satu Wartawan liputan kabupaten Bireuen, Rabu 13 November 2024. Melalui WhatsApp pribadinya, Bawah, saat meminta kepada Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Bireuen untuk dapat diizinkan memasang Iklan Calon Bupati di media yang dirinya berkarya selama ini,

" jawaban singkat Ketua KIP Bireuen. Saiful Hadi, langsung saja ke Kantor, dengan syarat ada sertifikat dewan pers dan silahkan hubungi sekretaris yang mulia.

"Langsung ke kantor..syarat na sertifikat dewan pers...dan hub sekretarris yg mulia"

namun awak media ini mencoba konfirmasi kembali kepada ketua KIP Bireuen Saiful Hadi untuk menjelaskan peraturan media dapat memasang iklan calon Bupati harus bersertifikat dewan pers,

Ketua KIP Bireuen Saiful Hadi menjawab singkat lagi, "Tanyeng bk kasek: artinya. tanyakan ke kaseknya.

"Lanjut Wartawan tersebut. Namun jika ini terus dipraktek oleh KIP Bireuen mengklaim bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menjunjung tinggi standar profesionalisme media, berharap bahwa hanya media bersertifikat yang dapat menyampaikan informasi yang akurat dan objektif. Namun, argumen ini sangat lemah jika dilihat dari perspektif kebebasan informasi dan keberagaman media. Dengan hanya mengandalkan media bersertifikat Dewan Pers, KIP justru membatasi ruang bagi media lokal yang selama ini menjadi penyambung informasi antara kandidat dan masyarakat. Media-media ini, meskipun belum berverifikasi, memiliki jangkauan yang lebih dekat dengan warga di pedesaan dan wilayah terpencil.

Langkah ini jelas merugikan media lokal yang belum mampu memenuhi standar verifikasi Dewan Pers. Padahal, tidak semua media lokal memiliki sumber daya untuk memenuhi persyaratan tersebut, mengingat proses verifikasi yang sangat birokratis dan memerlukan pengelolaan administrasi serta sumber daya manusia yang memadai. Media lokal yang lebih kecil, yang sering kali menjadi suara bagi masyarakat di daerah, kini dipaksa untuk mengikuti prosedur yang hampir mustahil bagi mereka, padahal mereka justru memainkan peran vital dalam pemberian informasi yang lebih mendalam dan kontekstual bagi audiens lokal.

Penyempitan ruang informasi ini akan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk mengakses informasi pemilihan yang bebas dan merata. Di Bireuen, di mana distribusi informasi politik sering kali terbatas pada beberapa saluran saja, keputusan KIP ini justru akan semakin memperburuk ketimpangan informasi. Masyarakat di daerah, yang lebih sering mengandalkan media lokal untuk mengikuti perkembangan kampanye, kini dipaksa untuk bergantung hanya pada beberapa media besar yang tak selalu akrab dengan keseharian mereka. Ini bukan hanya soal standar jurnalistik, melainkan soal hak dasar masyarakat untuk mendapatkan informasi yang bebas, jujur, dan mudah diakses.

Kebijakan ini menunjukkan sikap elitis KIP Bireuen yang lebih mengutamakan kualifikasi media daripada memastikan keterbukaan informasi bagi publik. Alih-alih mendorong media untuk menaikkan standar profesionalisme, kebijakan ini justru menutup akses bagi mereka yang paling membutuhkan, yakni masyarakat yang tidak terjangkau oleh media-media besar dan yang sudah lama bergantung pada media lokal untuk memperoleh informasi penting.

KIP Bireuen juga seharusnya menyadari bahwa perbaikan kualitas media tidak cukup hanya dengan mengandalkan sertifikat atau verifikasi Dewan Pers. Harus ada upaya yang lebih konstruktif, seperti menyediakan pelatihan dan dukungan yang memadai bagi media lokal untuk dapat memenuhi standar jurnalistik yang lebih baik, tanpa mengorbankan kebebasan insan Pres untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi.

Kebijakan yang diambil KIP Bireuen lebih menonjolkan kekhawatiran atas kualitas daripada memastikan semua pihak mendapat akses yang adil terhadap informasi. Jika KIP benar-benar ingin menjaga profesionalisme, mereka harus lebih bijaksana dalam merancang kebijakan yang tidak hanya mengutamakan satu jenis media, tetapi juga memperhatikan pentingnya keberagaman dalam penyampaian informasi. Keterbukaan informasi bukanlah pilihan, melainkan hak yang harus dijaga agar semua elemen masyarakat, tanpa terkecuali, dapat berpartisipasi dalam proses pemilu dengan informasi yang cukup dan berkualitas.

Dengan kebijakan ini, KIP Bireuen justru membuka celah bagi ketimpangan informasi yang lebih besar. Sebagai institusi yang mengawasi pemilu, KIP seharusnya memberikan ruang yang lebih luas bagi media lokal untuk ikut serta dalam proses ini, tanpa mengekang akses informasi masyarakat. Jika kebijakan ini tidak ditinjau kembali, yang terjadi bukanlah peningkatan kualitas demokrasi, melainkan pembatasan hak-hak publik untuk mengakses informasi yang adil dan merata.

Sesuai petunjuk dan arahan Ketua KIP Bireuen Saiful Hadi untuk meminta awak media ini menghubungi Sekretarisnya,

Ketika awak media ini mencoba menkonfirmasi Sekretaris Komisi Independen Pemilihan KIP Bireuen memalui WhatsApp pribadinya, namun sampai saat ini belum ada jawaban dari Sekretaris KIP Bireuen,

Sehingga berita ini ditayangkan media ini belum mendapatkan Konfirmasi lebih lanjut dari Sekretaris Komisi Independen Pemilihan KIP Bireuen.(MS)
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru