Syariat Islam Dijadikan Alat Slogan Murahan di Pilkada Aceh
BANDA ACEH- Serikat Aksi Peduli Aceh (SAPA) kembali mengungkapkan keprihatinannya terhadap penggunaan syariat Islam sebagai alat kampanye murahan oleh para calon pemimpin di Pilkada Aceh 2024. Menurut SAPA, syariat Islam seolah-olah hanya dijadikan slogan kosong yang tidak lebih dari sekadar alat untuk meraih suara, tanpa niat atau tindakan nyata untuk menjalankannya.
Ketua SAPA, Fauzan Adami, dengan tajam menyatakan bahwa syariat Islam kerap kali digunakan sebagai janji politik yang hanya bertahan selama masa kampanye. "Pernyataan syariat Islam dari mulut para calon gubernur, bupati, dan wali kota sering kali tidak lebih dari sekadar kosmetik politik. Setelah mereka terpilih, janji-janji itu hilang begitu saja. Tidak ada komitmen untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam kebijakan atau tindakan mereka," ujar Fauzan, Kamis, 14 November 2024.
SAPA memandang bahwa para pemimpin politik Aceh, baik eksekutif maupun legislatif, justru menjadi pihak yang paling merusak penerapan syariat Islam. "Korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan sudah merajalela di kalangan elite politik Aceh. Masyarakat semakin terpuruk akibat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Akibatnya, pengangguran meningkat, kemiskinan semakin parah, dan angka perceraian serta kriminalitas terus melambung. Anak-anak terlantar karena kelaparan dan kekurangan gizi. Semua ini disebabkan oleh pejabat yang tidak pernah peduli dengan rakyatnya," tegas Fauzan.
SAPA dengan lantang menyebutkan bahwa penyalahgunaan anggaran daerah, termasuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota (APBK), lebih sering dialihkan untuk kepentingan kelompok tertentu, bukannya untuk kesejahteraan rakyat. "Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Aceh, justru disalahgunakan untuk proyek-proyek yang hanya menguntungkan segelintir orang. Ini bukan hanya korupsi, tetapi juga pengkhianatan terhadap rakyat Aceh dan ajaran Islam itu sendiri," tegas SAPA.
Ironisnya, di tengah-tengah kemiskinan struktural, banyak calon pemimpin yang mengandalkan politik uang sebagai senjata utama untuk meraih suara. "Money politics adalah racun yang merusak demokrasi Aceh. Calon-calon ini membeli suara rakyat dengan uang receh. Mereka menjanjikan uang Rp100 ribu hingga Rp200 ribu per suara, lalu kita berharap Aceh akan dipimpin oleh orang-orang yang jujur dan berintegritas?" ujar Fauzan dengan penuh sindiran. Praktik ini, menurut SAPA, sudah terjadi di sejumlah daerah, seperti Banda Aceh, Pidie, Bireuen, dan Lhokseumawe, menjelang Pilkada 2024.
Fauzan menegaskan bahwa politik uang bukan hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga merusak integritas calon pemimpin itu sendiri. "Pemimpin yang dibeli dengan uang hanya akan memikirkan cara untuk mengembalikan modal. Mereka tidak akan bekerja untuk rakyat, tapi hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya," sindirnya.
SAPA menilai bahwa kondisi ekonomi masyarakat yang semakin sulit tidak boleh menjadi alasan untuk merusak masa depan Aceh dengan menjual suara. "Jangan biarkan uang sesaat menghancurkan masa depan kita. Pemimpin yang kita butuhkan adalah mereka yang memiliki visi, gagasan, dan integritas, bukan mereka yang berani mengorbankan harga diri demi kekuasaan," ujar Fauzan.
Sebagai langkah konkret, SAPA mengimbau masyarakat Aceh untuk bijak dalam memilih pemimpin. "Jangan tergoda oleh tawaran uang yang sementara. Suara Anda sangat berharga. Satu suara bisa menentukan arah Aceh dalam lima tahun ke depan. Jika Anda menjual suara, maka Anda sedang menjual masa depan anak cucu kita," tegasnya.
SAPA berharap Pilkada kali ini akan menjadi titik balik bagi Aceh. Aceh harus menjadi contoh dalam menerapkan syariat Islam yang sesungguhnya, bukan hanya sebagai alat politik untuk meraih suara. "Kita harus menuntut pemimpin yang serius dalam menjalankan syariat Islam dan benar-benar peduli pada kesejahteraan rakyat, bukan hanya menjadikan syariat sebagai slogan kosong untuk meraih kekuasaan," pungkas Fauzan Adami.
Jika politik uang terus dibiarkan, Aceh akan dipimpin oleh para pemimpin yang hanya tahu bagaimana mengisi kantong pribadi mereka, bukan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Demokrasi Aceh sedang dalam bahaya besar, dan kita semua harus bersatu untuk menanggulanginya.(Rel)